Di awal abad ke-21, berbagai
gempuran inovasi dan kemajuan teknologi tak henti – hentinya bermunculan. Era
computer, Globalisasi, hingga munculnya berbagai tren dikalangan masyarakat
yang pada masa lalu serasa tak mungkin terjadi. Sebuah peradaban (society)
baru pun muncul di tengah kemajuan zaman. Peradaban Non-tunai salah satunya, merupakan
sebuah fenomena yang kini sudah dan terus merambah ke seluruh pelosok negeri.
Mulai dari kota – kota besar hingga ke kalangan wilayah terluar di Indonesia
tak luput dari gempurannya. Data dari Bank Indonesia menunjukan, adanya
peningkatan sebesar 77,6% pada transaksi digital nasional di tahun 2019. Peningkatan
ini terjadi semenjak diluncurkannya “Gerakan Nasional Non-Tunai – GNNT” di 2014
lalu.
Data tersebut mengisyaratkan bahwa, begitu
pesatnya sebuah terobosan teknologi baru dapat diterima masyarakat dan mampu mengubah
tatanan perilaku sosial kearah yang lebih kompleks dan sulit dipastikan.
Perubahan yang cepat dan berdampak luas ini mulai mengarah kepada sebuah
revolusi era modern. Revolusi finansial dapat dijadikan istilah yang tepat
akibat kondisi ini. Kondisi dimana terus memacu dan memaksa seluruh elemen
penggeraknya mulai dari infrastruktur pendukung, teknologi, keamanan digital,
hingga ekonomi dan pemerintah untuk beradaptasi demi keberlangsungan hidup
bersama. Hal ini mengacu pada empat elemen perubahan yang dikenal sebagai VUCA
– Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity.
Keempat elemen tersebut perlu
diperhatikan di era revolusi finansial saat ini. Dalam artian Kompleksitas,
hal – hal yang cukup membuat pelaku tertantang antara lain kompleksitas untuk
mengatur budget keuangan. Tentunya di penghujung abad 20, pelaku bisnis berpengalaman
dengan model tradisionalnya. Akan tetapi, dengan munculnya teknologi baru bidang
finansial ini, memunculkan berbagai faktor penentu yang menambah kerumitan
dalam proses perencanaan. Akibatnya, kesalahan strategi investasi dapat terjadi
akibat salah perhitungan. Selain itu, munculnya kesenjangan kognitif/kemampuan
adaptasi masyarakat dengan platform fin-tech semakin melebar. Golongan baby-boomers
yang kurang mampu beradaptasi menjadi tertinggal. Hal ini dihadapkan dengan
realitas generasi milenial yang sangat dinamis di era teknologi saat ini.
Kesenjangan pun diperparah dengan kondisi infrastruktur Indonesia yang minim
akibat kondisi geografis yang begitu luas; yang secara tidak langsung
pemerataan teknologi di wilayah T3 (Terdepan, Terluar, Tertinggal) cukup terhambat.
Sementara itu, kesenjangan
dikalangan pedagang kecil yang kerap diidentikan sebagai masyarakat menengah ke
bawah menjadi terbuka. Ssebagai akibat dari kurangnya kemampuan finansial untuk
mengakses teknologi dan informasi terkini yang begitu cepat serta diperparah dengan
mudahnya sebaran berita hoax membuat kalangan sosial ini semakin
tertinggal. Pada tataran yang lebih lanjut, kerumitan ini terjadi pada sistem
mata uang digital (cripto-currency) dengan segala intrik kompleksitas dimana
tidak ada institusi pemerintah resmi yang mengatur tentang hal ini. Hanya
didukung pengguna yang begitu banyak, sistem ini dirancang sedemikian rupa
kompleks mengandalkan rantai-blok (block-chain) dalam menunjang
verifikasinya.
Di sisi Ambiguitas, cashless
society sudah sangat terasa dampaknya. Ketidak pastian nilai akibat
munculnya berbagai mata uang digital sebut saja, salah satunya “Bitcoin” yang
kini nilai valuasinya mencapai 10,200 USD/BCN, namun acuannya masih cukup
ambigu dan sangan rentan. Dari segi lainnya, dengan saling terkaitnya komunitas
melalui internet maka ancaman pencurian data menjadi tak terelakan. Berbagai
kasus pencurian data keuangan, hingga pencurian uang secara digital dari satu
akun marak terjadi. Hal tersebut tak lain didukung akibat adanya pemalsuan
identitas yang merupakan salah satu dampak ambigunya era peradaban non-tunai.
Tak ayal, keamanan keuangan digital sangat terancam akibat data digital yang
dapat di manipulasi ini. Berbagai hal yang buram tersebut pada ahirnya,
memunculkan kebutuhan akan keamanan digital (ciber-security). Oleh
karenanya, seluruh lapisan institusi pemangku kepentingan harus mampu menjamin
dan mendukung revolusi finansial yang tengah berlangsung.
Peran yang sangat dibutuhkan paling
besar diharapkan dari institusi pemerintahan. Institusi tersebut antara lain
Bank Indonesia (BI). Sebagai bank sentral NKRI, BI harus mampu berperan sebagai
central regulator. Peran ini terkait
dengan pengawasan terhadap pertumbuhan perekonomian sehingga dapat menghasilkan
regulasi dan ketetapan yang sesuai. Hal ini, diperkuat dengan adanya lembaga Otoritas
Jasa Keuangan (OJK). OJK yang bergerak dengan fungsi regulasi dan supervisi
terhadap berbagai platform dan start-up dibidang teknologi
finansial dalam kapasitasnya mengatur suku bunga pinjaman, serta hal-hal
lainnya. Kemudian, dari pihak Kementrian Komunikasi dan Informatika
(Kemenkominfo) dan BUMN yang bergerak dibidangnya, dalam hal ini, Telkom
Indonesia, dapat saling bekerja sama menjalankan fungsi kontrol keamanan arus
lalu – lintas digital di Indonesia. Ditambah dengan didukung pihak swasta dan
tentunya Kepolisian melalui divisi cibernya, kerjasama ini dapat menjadi
promotor edukasi digital, hingga mampu berperan sebagai penggerak sektor
ekonomi kecil.
Tak lepas dari sisi legislatif dan
eksekutif, Lembaga Legistlatif berperan penting memberikan kepastian payung
hukum bagi pelaku pasar digital era revolusi finansial. Hal tersebut mengatur
dan menyediakan peraturan perundang-undangan yang dinamis, praktis, serta
mendukung perkembangannya. Meski belum dapat sepenuhnya secara rinci, namun
setidaknya dengan adanya kepastian hukum, masyarakat merasa lebih terlindungi
dan nyaman. Salah satu produk legislasinya adalah Undang – Undang yang mengatur
tentang Informasi dan Teknologi (UU ITE). Atas dukungan tersebut, maka berbagai
implikasi dari revolusi finansial – peradaban non-tunai dapat dikendalikan.
Hal ini tentunya menjadi dasar dalam
menyikapi berbagai tantangan dan kesempatan yang bermunculan. Bagi para
pengguna/konsumen, tantangan muncul berupa masalah keamanan data. Maraknya
kisruh tentang data pengguna dibobol, dicuri, diperdagangkan cukup membuat
resah para pengguna teknologi finansial. Belum lagi pemalsuan data yang dengan
mudahnya dilakukan akibat kurangnya sistem keamanan transaksi non-tunai dan
literasi pengguna. Akibatnya, di ujung rantai transaksi, para konsumen sendiri
yang akan dirugikan, baik finansial maupun non-finansial. Tak ubahnya dari sisi
pelaku pasar, tantangan yang dihadapi tak kalah berat. Berbagai perang digital
tak ayal membuat kedua kubu sama – sama dirugikan dari segi modal, rival dan
jaringan yang mampu menggerus modal sangat menghawatirkan bagi para pemain bermodal
kecil. Santer didengar, start-up baru “diharuskan” bakar duit untuk
menggaet minat pasar yang semakin luas, hingga pada ahirnya merugi. Tentunya
hal tersebut menghasilkan berbagai terobosan baru ide serta inovasi, layaknya
dua sisi mata uang yang memiliki berbagai positif dan negatifnya.
Pengaruh yang cukup positif, antara
lain munculnya kemudahan transaksi. Bagi para konsumen, kini tak perlu lagi
berjalan menuju wesel pos, atau sekadar ke ATM, dengan ponsel pintar, segala
hal transaksi dapat dilakukan dengan sekali-ketuk. Selain itu, para pengguna
juga dengan mudah mengakses pencatatan transaksinya. Permasalahan transaksi
yang dahulu dikeluhkan karena hawatir akan tipu muslihat penjual, kini
pelanggan dapat dengan mudah melacak barang yang telah dibeli, serta layanan
pengaduan yang cepat.
Satu hal yang tak kalah menarik tentunya
adalah berbagai iming – iming hadiah yang tak jarang nominalnya fantastis.
Dengan demikian, para pengguna diera ini sangat menentukan jalannya arah
inovasi. Di sisi pelaku Pasar, dengan konektifitas antarpengguna yang luas
menambah jangkauan pasar mereka serta penetrasi pasar yang lebih dalam. Dengan
teknologi ini rantai traksaksi dapat lebih singkat dan terlacak, sehingga sangatlah
membantu, dan tentunya dengan biaya yang tak terlalu besar. Inovasi bisnis dan
sistem digital juga turut memberikan beragam alternatif baru di era cashless
society ini.
Oleh karena itu, dalam menghadapi
berbagai tantangan dan menyikapi kemudahan yang ditawarkan, penting bagi
seluruh stakeholder untuk melakukan berbagai langkah antisipasi,
adaptasi, dan supervisi yang tepat. Langkah – langkah yang dapat ditempuh
antara lain (1) Pembelajaran aktif yang dapat ditempuh
dari berbagai media online menawarkan cakupan materi umum, akademis, maupun
ruang diskusi yang sangat positif. Sehingga hasilnya adalah terbentuknya
masyarakat yang sadar teknologi sehingga mampu memanfaatkannya secara lebih
luas. (2) Pola pikir yang luas dan mendalam mendorong
pengguna untuk lebih aktif serta menjaga privasinya. Dengan pemahaman yang
dalam, pengguna merasa tidak hawatir dalam menjaga diri saat beraktifitas di
dunia digital ini.
(3) Berfikir startegis sebagai pengembangan pola pikir masyarakat, sehingga seluruh elemen
revolusi finansial dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mengembangkan segala
potensi yang ada. (4) Berani mengeksekusi tentunya didasari pengetahuan
aktif, pola pikir mendalam, serta strategis, cukup menjadi modal dalam
menjalankan bisnisnya. Tentunya kerugian dan halang-rintang akan ditemui, namun
setidaknya kita telah mengetahui cara penanganan dan kelemahan pasar, sehingga
mampu menghadapinya dengan baik. (5) Gagasan ide yang berorientasi digital
menjadi diperlukan akibat ekosistem digital/connected society yang berkembang.
Para pelaku bisnis, stakeholders, users, diharuskan mampu
memberikan inovasi dalam menunjang kegiatannya mulai dari ide bisnis, hingga
keamanan siber. (6) Komitmen dan dukungan pemerintah tentunya tak
terlepas dari peran dan komitmennya dalam penyediaan infrastruktur pendukung, katakanlah,
“Palapa Ring” yang baru saja diresmikan. Tak lain, adalah untuk pemerataan
akses teknologi di wilayah T3, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat tercapai.
Begitulah dampak akibat perkembangan
teknologi, revolusi finansial yang begitu santer, tentu perlu dukungan seluruh
elemen masyarakat, swasta, pemerintah, dan Lembaga lainnya demi tercapainya
peradaban masa kini di era Cashless Society. Segala Kompleksitas dan
Ambiguitasnya menjadi satu sehingga memerlukan penanganan yang tepat dan
pengetahuan yang mumpuni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar