Rabu, 12 Februari 2020

Kompleksitas & Ambiguitas akibat dari Munculnya Peradaban Non-Tunai (VUCA of CASHLESS SOCIETY)


Di awal abad ke-21, berbagai gempuran inovasi dan kemajuan teknologi tak henti – hentinya bermunculan. Era computer, Globalisasi, hingga munculnya berbagai tren dikalangan masyarakat yang pada masa lalu serasa tak mungkin terjadi. Sebuah peradaban (society) baru pun muncul di tengah kemajuan zaman. Peradaban Non-tunai salah satunya, merupakan sebuah fenomena yang kini sudah dan terus merambah ke seluruh pelosok negeri. Mulai dari kota – kota besar hingga ke kalangan wilayah terluar di Indonesia tak luput dari gempurannya. Data dari Bank Indonesia menunjukan, adanya peningkatan sebesar 77,6% pada transaksi digital nasional di tahun 2019. Peningkatan ini terjadi semenjak diluncurkannya “Gerakan Nasional Non-Tunai – GNNT” di 2014 lalu.

Data tersebut mengisyaratkan bahwa, begitu pesatnya sebuah terobosan teknologi baru dapat diterima masyarakat dan mampu mengubah tatanan perilaku sosial kearah yang lebih kompleks dan sulit dipastikan. Perubahan yang cepat dan berdampak luas ini mulai mengarah kepada sebuah revolusi era modern. Revolusi finansial dapat dijadikan istilah yang tepat akibat kondisi ini. Kondisi dimana terus memacu dan memaksa seluruh elemen penggeraknya mulai dari infrastruktur pendukung, teknologi, keamanan digital, hingga ekonomi dan pemerintah untuk beradaptasi demi keberlangsungan hidup bersama. Hal ini mengacu pada empat elemen perubahan yang dikenal sebagai VUCA – Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity.

Keempat elemen tersebut perlu diperhatikan di era revolusi finansial saat ini. Dalam artian Kompleksitas, hal – hal yang cukup membuat pelaku tertantang antara lain kompleksitas untuk mengatur budget keuangan. Tentunya di penghujung abad 20, pelaku bisnis berpengalaman dengan model tradisionalnya. Akan tetapi, dengan munculnya teknologi baru bidang finansial ini, memunculkan berbagai faktor penentu yang menambah kerumitan dalam proses perencanaan. Akibatnya, kesalahan strategi investasi dapat terjadi akibat salah perhitungan. Selain itu, munculnya kesenjangan kognitif/kemampuan adaptasi masyarakat dengan platform ­fin-tech semakin melebar. Golongan baby-boomers yang kurang mampu beradaptasi menjadi tertinggal. Hal ini dihadapkan dengan realitas generasi milenial yang sangat dinamis di era teknologi saat ini. Kesenjangan pun diperparah dengan kondisi infrastruktur Indonesia yang minim akibat kondisi geografis yang begitu luas; yang secara tidak langsung pemerataan teknologi di wilayah T3 (Terdepan, Terluar, Tertinggal) cukup terhambat.

Sementara itu, kesenjangan dikalangan pedagang kecil yang kerap diidentikan sebagai masyarakat menengah ke bawah menjadi terbuka. Ssebagai akibat dari kurangnya kemampuan finansial untuk mengakses teknologi dan informasi terkini yang begitu cepat serta diperparah dengan mudahnya sebaran berita hoax membuat kalangan sosial ini semakin tertinggal. Pada tataran yang lebih lanjut, kerumitan ini terjadi pada sistem mata uang digital (cripto-currency) dengan segala intrik kompleksitas dimana tidak ada institusi pemerintah resmi yang mengatur tentang hal ini. Hanya didukung pengguna yang begitu banyak, sistem ini dirancang sedemikian rupa kompleks mengandalkan rantai-blok (block-chain) dalam menunjang verifikasinya.

Di sisi Ambiguitas, cashless society sudah sangat terasa dampaknya. Ketidak pastian nilai akibat munculnya berbagai mata uang digital sebut saja, salah satunya “Bitcoin” yang kini nilai valuasinya mencapai 10,200 USD/BCN, namun acuannya masih cukup ambigu dan sangan rentan. Dari segi lainnya, dengan saling terkaitnya komunitas melalui internet maka ancaman pencurian data menjadi tak terelakan. Berbagai kasus pencurian data keuangan, hingga pencurian uang secara digital dari satu akun marak terjadi. Hal tersebut tak lain didukung akibat adanya pemalsuan identitas yang merupakan salah satu dampak ambigunya era peradaban non-tunai. Tak ayal, keamanan keuangan digital sangat terancam akibat data digital yang dapat di manipulasi ini. Berbagai hal yang buram tersebut pada ahirnya, memunculkan kebutuhan akan keamanan digital (ciber-security). Oleh karenanya, seluruh lapisan institusi pemangku kepentingan harus mampu menjamin dan mendukung revolusi finansial yang tengah berlangsung.

Peran yang sangat dibutuhkan paling besar diharapkan dari institusi pemerintahan. Institusi tersebut antara lain Bank Indonesia (BI). Sebagai bank sentral NKRI, BI harus mampu berperan sebagai central regulator.  Peran ini terkait dengan pengawasan terhadap pertumbuhan perekonomian sehingga dapat menghasilkan regulasi dan ketetapan yang sesuai. Hal ini, diperkuat dengan adanya lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK yang bergerak dengan fungsi regulasi dan supervisi terhadap berbagai platform dan start-up dibidang teknologi finansial dalam kapasitasnya mengatur suku bunga pinjaman, serta hal-hal lainnya. Kemudian, dari pihak Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan BUMN yang bergerak dibidangnya, dalam hal ini, Telkom Indonesia, dapat saling bekerja sama menjalankan fungsi kontrol keamanan arus lalu – lintas digital di Indonesia. Ditambah dengan didukung pihak swasta dan tentunya Kepolisian melalui divisi cibernya, kerjasama ini dapat menjadi promotor edukasi digital, hingga mampu berperan sebagai penggerak sektor ekonomi kecil.

Tak lepas dari sisi legislatif dan eksekutif, Lembaga Legistlatif berperan penting memberikan kepastian payung hukum bagi pelaku pasar digital era revolusi finansial. Hal tersebut mengatur dan menyediakan peraturan perundang-undangan yang dinamis, praktis, serta mendukung perkembangannya. Meski belum dapat sepenuhnya secara rinci, namun setidaknya dengan adanya kepastian hukum, masyarakat merasa lebih terlindungi dan nyaman. Salah satu produk legislasinya adalah Undang – Undang yang mengatur tentang Informasi dan Teknologi (UU ITE). Atas dukungan tersebut, maka berbagai implikasi dari revolusi finansial – peradaban non-tunai dapat dikendalikan.

Hal ini tentunya menjadi dasar dalam menyikapi berbagai tantangan dan kesempatan yang bermunculan. Bagi para pengguna/konsumen, tantangan muncul berupa masalah keamanan data. Maraknya kisruh tentang data pengguna dibobol, dicuri, diperdagangkan cukup membuat resah para pengguna teknologi finansial. Belum lagi pemalsuan data yang dengan mudahnya dilakukan akibat kurangnya sistem keamanan transaksi non-tunai dan literasi pengguna. Akibatnya, di ujung rantai transaksi, para konsumen sendiri yang akan dirugikan, baik finansial maupun non-finansial. Tak ubahnya dari sisi pelaku pasar, tantangan yang dihadapi tak kalah berat. Berbagai perang digital tak ayal membuat kedua kubu sama – sama dirugikan dari segi modal, rival dan jaringan yang mampu menggerus modal sangat menghawatirkan bagi para pemain bermodal kecil. Santer didengar, start-up baru “diharuskan” bakar duit untuk menggaet minat pasar yang semakin luas, hingga pada ahirnya merugi. Tentunya hal tersebut menghasilkan berbagai terobosan baru ide serta inovasi, layaknya dua sisi mata uang yang memiliki berbagai positif dan negatifnya.

Pengaruh yang cukup positif, antara lain munculnya kemudahan transaksi. Bagi para konsumen, kini tak perlu lagi berjalan menuju wesel pos, atau sekadar ke ATM, dengan ponsel pintar, segala hal transaksi dapat dilakukan dengan sekali-ketuk. Selain itu, para pengguna juga dengan mudah mengakses pencatatan transaksinya. Permasalahan transaksi yang dahulu dikeluhkan karena hawatir akan tipu muslihat penjual, kini pelanggan dapat dengan mudah melacak barang yang telah dibeli, serta layanan pengaduan yang cepat.
Satu hal yang tak kalah menarik tentunya adalah berbagai iming – iming hadiah yang tak jarang nominalnya fantastis. Dengan demikian, para pengguna diera ini sangat menentukan jalannya arah inovasi. Di sisi pelaku Pasar, dengan konektifitas antarpengguna yang luas menambah jangkauan pasar mereka serta penetrasi pasar yang lebih dalam. Dengan teknologi ini rantai traksaksi dapat lebih singkat dan terlacak, sehingga sangatlah membantu, dan tentunya dengan biaya yang tak terlalu besar. Inovasi bisnis dan sistem digital juga turut memberikan beragam alternatif baru di era cashless society ini.

Oleh karena itu, dalam menghadapi berbagai tantangan dan menyikapi kemudahan yang ditawarkan, penting bagi seluruh stakeholder untuk melakukan berbagai langkah antisipasi, adaptasi, dan supervisi yang tepat. Langkah – langkah yang dapat ditempuh antara lain (1) Pembelajaran aktif yang dapat ditempuh dari berbagai media online menawarkan cakupan materi umum, akademis, maupun ruang diskusi yang sangat positif. Sehingga hasilnya adalah terbentuknya masyarakat yang sadar teknologi sehingga mampu memanfaatkannya secara lebih luas. (2) Pola pikir yang luas dan mendalam mendorong pengguna untuk lebih aktif serta menjaga privasinya. Dengan pemahaman yang dalam, pengguna merasa tidak hawatir dalam menjaga diri saat beraktifitas di dunia digital ini.

(3) Berfikir startegis sebagai pengembangan pola pikir masyarakat, sehingga seluruh elemen revolusi finansial dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mengembangkan segala potensi yang ada. (4) Berani mengeksekusi tentunya didasari pengetahuan aktif, pola pikir mendalam, serta strategis, cukup menjadi modal dalam menjalankan bisnisnya. Tentunya kerugian dan halang-rintang akan ditemui, namun setidaknya kita telah mengetahui cara penanganan dan kelemahan pasar, sehingga mampu menghadapinya dengan baik. (5) Gagasan ide yang berorientasi digital menjadi diperlukan akibat ekosistem digital/connected society yang berkembang. Para pelaku bisnis, stakeholders, users, diharuskan mampu memberikan inovasi dalam menunjang kegiatannya mulai dari ide bisnis, hingga keamanan siber. (6) Komitmen dan dukungan pemerintah tentunya tak terlepas dari peran dan komitmennya dalam penyediaan infrastruktur pendukung, katakanlah, “Palapa Ring” yang baru saja diresmikan. Tak lain, adalah untuk pemerataan akses teknologi di wilayah T3, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat tercapai.

Begitulah dampak akibat perkembangan teknologi, revolusi finansial yang begitu santer, tentu perlu dukungan seluruh elemen masyarakat, swasta, pemerintah, dan Lembaga lainnya demi tercapainya peradaban masa kini di era Cashless Society. Segala Kompleksitas dan Ambiguitasnya menjadi satu sehingga memerlukan penanganan yang tepat dan pengetahuan yang mumpuni.